Masih adakah masa depan?
Oleh Sayidiman Suryohadiprodjo
Menjadi kebiasaan manusia modern untuk tidak
terpaku pada masa kini, apalagi masa lalu,
melainkan cenderung melihat ke masa depan. Akan
tetapi di Indonesia sekarang sering timbul
pertanyaan apakah masih ada masa depan buat
Indonesia. Nampak sekali betapa pesimisme telah
meliputi pikiran banyak orang.
Sikap demikian bukannya tanpa alasan.
Kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid sama sekali
tidak memberikan prospek positif bagi masa depan
Indonesia. Kalau ia dulu dikenal sebagai seorang
cendekiawan demokrat yang berpandangan luas,
sekarang kawannya yang dekat pun harus mengakui
bahwa sebagai Presiden RI Abdurrahman Wahid sama
sekali tidak menunjukkan kenegarawanan. Bahkan
sifatnya sebagai demokrat dipertanyakan ketika
ia menunjukkan arogansi yang tidak sedikit.
Optimisme yang timbul ketika Abdurrahman Wahid
terpilih sebagai Presiden RI pada tahun 1999
sudah surut sekali, kecuali di lingkungan NU dan
PKB. Orang mulai berpikir bagaimana jadinya
Indonesia kalau harus mengalami pimpinan seperti
ini sampai tahun 2004.
Akan tetapi ketika memikirkan lebih jauh, timbul
pula kesangsian apakah mengganti Abdurrahman
Wahid di masa dekat dapat membawa perubahan yang
meyakinkan.
Satu penggantian di tengah jalan secara
konstitusional akan mengangkat Megawati yang
Wakil Presiden menjadi Presiden. Namun orang
sangsi apakah kepemimpinan Megawati dapat
membawa perubahan meyakinkan, apalagi sudah
mulai digulirkan suara betapa suaminya, Taufik
Kiemas, tidak bebas dari aneka ragam
ketidakberesan. Maka penggantian oleh Megawati
jangan-jangan juga hanya terjadi sebentar
belaka, karena kembali orang tidak puas.
Calon-calon berikut adalah mungkin Amien Rais
dan Akbar Tandjung. Juga calon-calon pengganti
ini menimbulkan pertanyaan. Kalaupun bukan
karena latar belakang kepribadian yang kurang
baik, tetapi faktor politik menimbulkan
kesangsian apakah tidak akan terjadi perlawanan
politik yang amat sukar mereka kendalikan.
Maka kesangsian akan kemampuan para calon
pengganti Abdurrahman Wahid membuat orang enggan
untuk mengambil langkah penggantian dalam waktu
dekat. Yang juga menimbulkan keengganan untuk
mengganti Wahid adalah reaksi yang ditunjukkan
oleh para pengikutnya yang fanatik, terutama di
Banser dan Ansor. Sekarang saja reaksi terhadap
Memorandum DPR kepada Presiden sudah membuat
mereka bersikap ganas di Jawa Timur, apalagi
kalau jago mereka diturunkan, pikir orang.
Bukannya pihak lain tidak berani melawan mereka
kalau mereka berbuat kekerasan. Akan tetapi itu
semua akan membuat Indonesia makin kacau.
Maka seakan-akan kondisi keengganan itu
memperkuat Wahid serta kubunya untuk bertahan
pada posisinya. Terjadilah semacam political
blackmail terhadap bangsa Indonesia sehingga
membuat banyak orang bertanya: masih adakah masa
depan untuk Indonesia?
Namun sebagai manusia berpikir kita harus
menyadari bahwa segala sesuatu di Alam Raya ini
tunduk pada satu hukum yang mengatakan: Apa pun
yang naik pada satu saat akan turun; demikian
pula segala sesuatu yang turun satu saat akan
naik. Indonesia sekarang sedang turun dan satu
saat akan naik kembali. Memang belum jelas kapan
sesuatu akan berada pada titik terendah yang
tidak mungkin turun lagi. Akan tetapi satu saat
akan tiba titik terendah itu dan kemudian kita
akan naik kembali. Atas dasar pandangan ini
jelas masih ada masa depan untuk Indonesia.
Maka, buat kita yang ingin melihat Indonesia
naik kembali ada dua hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, titik terendah dalam
gerak turun kita tidak terlalu lama lagi. Kedua,
gerak naik kita kemudian dapat terjadi dengan
sebaik mungkin serta menghasilkan kondisi bangsa
yang kita idam-idamkan.
Untuk hal pertama, harus kita jaga agar tidak
turut larut dalam gerak turun yang sedang
terjadi.
Pada dasarnya ini memerlukan sikap moral dan
intelektual yang cocok. Kemampuan untuk tidak
terbawa dalam cara berpikir yang partisan
sehingga senantiasa dapat mengejar obyektivitas
yang setinggi-tingginya. Dan bersikap moral yang
membebaskan diri dari aneka ragam kebobrokan
yang sedang melanda masyarakat Indonesia, baik
yang bersifat material maupun non-material.
Makin banyak orang Indonesia bersikap demikian,
makin cepat titik terendah akan tiba.
Sedangkan untuk hal kedua, kita harus mulai
menyiapkan pemikiran bagaimana mengatur
kehidupan bangsa kita untuk dapat bangkit
kembali nanti. Sekalipun sekarang berada dalam
kondisi bangsa yang serba bobrok, kita harus
mampu untuk berpikir jernih dan bersama
kawan-kawan yang berpandangan sama membuat
konsep untuk berbagai aspek kehidupan bangsa.
Buat penulis pribadi, yang penting adalah
bagaimana menjadikan Pancasila satu kenyataan
yang hidup. Sejak semula hampir semua pihak
mengakui bahwa Pancasila adalah satu pandangan
yang brilian untuk menjadi dasar negara. Akan
tetapi celakanya tidak pernah ada pemimpin
Indonesia yang menjadikannya satu kenyataan yang
hidup dalam masyarakat. Bahkan Bung Karno
sebagai pencetusnya telah meninggalkan Pancasila
ketika memegang pimpinan. Dan di rezim Soeharto
Pancasila telah sangat didiskreditkan.
Akibatnya adalah bahwa sekarang banyak orang,
terutama kaum muda, muak kalau mendengar
perkataan Pancasila. Namun apabila orang-orang
itu bersikap dan berpikir obyektif serta tetap
hendak memelihara eksistensi Negara Republik
Indonesia yang bersifat kesatuan, maka harus
mereka akui bahwa itu hanya dapat tercapai kalau
Pancasila menjadi kenyataan di Indonesia.
Apabila, umpamanya, digunakan sekularisme
sebagai dasar negara, sebagaimana sering kali
dikemukakan oleh mereka yang berhaluan Barat,
maka pasti banyak kalangan Islam menolaknya.
Sebaliknya, kalau umat Islam menginginkan Islam
sebagai dasar negara, maka besar kemungkinan
mereka yang beragama lain menolaknya dan
melepaskan daerahnya dari kesatuan Indonesia.
Hanya Pancasila yang memberikan tempat terhormat
bagi semuanya. Akan tetapi karena sekarang
Pancasila masih banyak ditolak sebagai akibat
salah urus dari kepemimpinan lama, maka
janganlah kepemimpinan baru menonjolkan
Pancasila terlalu cepat. Melainkan digunakan
sebagai metode kerja dan menjadikan Pancasila
terwujud secara nyata dalam masyarakat.
Yang penting adalah bahwa kepemimpinan baru
dapat merebut kepercayaan kuat dari masyarakat.
Dan merespons kepercayaan yang diterimanya
dengan memimpin negara secara adil dan
arif-bijaksana, sehingga masyarakat merasakan
kemajuannya Dengan begitu lambat laun akan
tumbuh kembali kepercayaan masyarakat kepada
Pancasila. Itulah yang menjamin gerak naik
bangsa Indonesia di masa depan yang menciptakan
keadilan, kemajuan dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.***
Sayidiman Suryohadiprodjo lahir di Bojonegoro,
21 September 1927. Menyelesaikan pendidikan di
Akademi Militer Yogyakarta tahun 1948 dan
memulai karir sebagai Danki 2 Yon 303 Divisi
Siliwangi (1949-1950). Pangkat terakhir adalah
Letjen dan kini menjadi anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional. Penulis pernah
menjalani pendidikan di Fort Benning, AS, dan
Sesko di Hamburg, Jerman. Pria yang dijuluki
Kokumin noi Taishi (dubes rakyat) ketika menjadi
Dubes RI di Jepang ini, pernah menjadi Pangdam
XIV/Hasanudin, Deputi Kasad, Gubernur Lemhanas,
dan Penasihat Menristek. Selain menulis di
berbagai media, penulis menghasilkan beberapa
buku antara lain Mengabdi Negara Sebagai
Prajurit TNI, Kepemimpinan ABRI, Membangun
Peradaban Indonesia, Menghadapi Tantangan Masa
Depan, dan Pancasila, Islam dan ABRI.
Tanggapan-tanggapan atas tulisannya bisa
dikirimkan ke sayidiman@gmx.net.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar