Kamis, 09 Agustus 2007

KEPEMIMPINAN-MANAJEMEN: LOYALITAS DAN INTEGRITAS

kepemimpinan-manajemen: loyalitas dan integritas
Oleh: Andrias Harefa*

"Anda tidak dapat membangun loyalitas secara terfragmentasi, gaya sekali tembak, dan tidak cukup terfokus pada upaya perbaikan pelayanan 1-2 departemen atau fungsi. Setiap orang --setiap orang!-- harus menjadi bagian dari solusi, Jika tidak, mereka malah menjadi bagian dari masalah," demikian tulis Dennis McCarthy dalam The Loyalty Link - How Loyal Employee Creat Loyal Customers. McCarthy juga berusaha meyakinkan bahwa, "Bukti secara tidak langsung mengungkapkan adanya korelasi antara loyalitas konsumen dan loyalitas karyawan. Yaitu, makin tinggi kepuasan konsumen, makin rendah turnover karyawan."

Salah satu biang kerok utama yang menyebabkan merosotnya loyalitas dalam perusahaan, setidaknya menurut James Kouzes, CEO Tom Peters Group, adalah karyawan tidak mempercayai manajemen dalam memenuhi apa yang dikatakannya atau menerapkan apa yang telah diprakarsainya. Dengan kata lain, manajemen tidak dipercayai oleh konstituennya karena antara kata-kata dan tindakan terdapat jurang pemisah yang lebar dan dalam. Konstituen membenci atau sekurang-kurangnya tidak dapat menerima orang yang munafik menjadi pemimpin mereka.

Pada titik ini kita melihat bahwa masalah loyalitas berkaitan langsung dengan integritas. Integritas, yang berasal dari kata Latin integer (arti harafiahnya adalah utuh, lengkap, tidak terfragmentasi), hanya dapat dibangun lewat kejujuran (honesty) yang diekspresikan lewat kata-kata dan tindakan selaras. Dan integritas serta kejujuran itu pertama-tama dan terutama diharapkan dari manajemen dan eksekutif perusahaan atau dari siapa saja yang menduduki jabatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi (termasuk organisasi politik dan lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara). Bila para pemimpin mendemonstrasikan integritas dan menunjukkan kejujuran, maka para konstituennya (termasuk karyawan, tetapi juga stakeholder lainnya, warga negara, dsb) tidak ragu untuk bersikap loyal atau setia (faithful).

Studi Kouzes dan Posner (Credibility, 1993) juga menunjukkan bahwa 4 hal pertama dan terutama yang menjadi karakteristik pemimpin yang dikagumi (admired leaders) di dunia bisnis maupun politik adalah honesty (kejujuran), diikuti dengan forward looking (visi jauh ke depan), inspiring, dan competent.

Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari studi semacam itu adalah bahwa tantangan terbesar bagi siapa saja yang berhasrat atau berambisi untuk menjalankan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin adalah mendemonstrasikan integritas dan sikap jujur. Atas dasar ini seorang pemimpin sejati tidak takut bila harus mengikuti fit and proper test seperti yang seharusnya dilakukan terhadap semua pejabat tinggi negara dan eksekutif puncak perusahaan publik milik negara (BUMN) ataupun bukan (swasta). Mereka bersedia 'diaudit' tidak saja kekayaannya, tetapi juga pengetahuannya, kompetensi teknisnya, dan bahkan moralitasnya. Bagi mereka hal semacam itu adalah konsekuensi dari pilihannya untuk menjadi pemimpin di bidang tertentu.
Kita tahu bahwa bersikap jujur itu tidak pernah mudah. Natur kita sebagai manusia adalah mudah terjebak godaan untuk menjadi munafik: kalau bicara bohong, kalau berjanji ingkar, kalau dipercaya berkhianat. Dengan sifat natur semacam itu, menjadi pemimpin sejati jelas merupakan tantangan untuk mengalahkan diri, mengendalikan hasrat, mendisiplin hawa nafsu, dan seterusnya. Musuh terbesar seorang calon pemimpin adalah dirinya sendiri.

Bukankah demikian?

Tidak ada komentar: