Kamis, 09 Agustus 2007

Masih adakah masa depan?

Masih adakah masa depan?

Oleh Sayidiman Suryohadiprodjo

Menjadi kebiasaan manusia modern untuk tidak

terpaku pada masa kini, apalagi masa lalu,

melainkan cenderung melihat ke masa depan. Akan

tetapi di Indonesia sekarang sering timbul

pertanyaan apakah masih ada masa depan buat

Indonesia. Nampak sekali betapa pesimisme telah

meliputi pikiran banyak orang.

Sikap demikian bukannya tanpa alasan.

Kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid sama sekali

tidak memberikan prospek positif bagi masa depan

Indonesia. Kalau ia dulu dikenal sebagai seorang

cendekiawan demokrat yang berpandangan luas,

sekarang kawannya yang dekat pun harus mengakui

bahwa sebagai Presiden RI Abdurrahman Wahid sama

sekali tidak menunjukkan kenegarawanan. Bahkan

sifatnya sebagai demokrat dipertanyakan ketika

ia menunjukkan arogansi yang tidak sedikit.

Optimisme yang timbul ketika Abdurrahman Wahid

terpilih sebagai Presiden RI pada tahun 1999

sudah surut sekali, kecuali di lingkungan NU dan

PKB. Orang mulai berpikir bagaimana jadinya

Indonesia kalau harus mengalami pimpinan seperti

ini sampai tahun 2004.

Akan tetapi ketika memikirkan lebih jauh, timbul

pula kesangsian apakah mengganti Abdurrahman

Wahid di masa dekat dapat membawa perubahan yang

meyakinkan.

Satu penggantian di tengah jalan secara

konstitusional akan mengangkat Megawati yang

Wakil Presiden menjadi Presiden. Namun orang

sangsi apakah kepemimpinan Megawati dapat

membawa perubahan meyakinkan, apalagi sudah

mulai digulirkan suara betapa suaminya, Taufik

Kiemas, tidak bebas dari aneka ragam

ketidakberesan. Maka penggantian oleh Megawati

jangan-jangan juga hanya terjadi sebentar

belaka, karena kembali orang tidak puas.

Calon-calon berikut adalah mungkin Amien Rais

dan Akbar Tandjung. Juga calon-calon pengganti

ini menimbulkan pertanyaan. Kalaupun bukan

karena latar belakang kepribadian yang kurang

baik, tetapi faktor politik menimbulkan

kesangsian apakah tidak akan terjadi perlawanan

politik yang amat sukar mereka kendalikan.

Maka kesangsian akan kemampuan para calon

pengganti Abdurrahman Wahid membuat orang enggan

untuk mengambil langkah penggantian dalam waktu

dekat. Yang juga menimbulkan keengganan untuk

mengganti Wahid adalah reaksi yang ditunjukkan

oleh para pengikutnya yang fanatik, terutama di

Banser dan Ansor. Sekarang saja reaksi terhadap

Memorandum DPR kepada Presiden sudah membuat

mereka bersikap ganas di Jawa Timur, apalagi

kalau jago mereka diturunkan, pikir orang.

Bukannya pihak lain tidak berani melawan mereka

kalau mereka berbuat kekerasan. Akan tetapi itu

semua akan membuat Indonesia makin kacau.

Maka seakan-akan kondisi keengganan itu

memperkuat Wahid serta kubunya untuk bertahan

pada posisinya. Terjadilah semacam political

blackmail terhadap bangsa Indonesia sehingga

membuat banyak orang bertanya: masih adakah masa

depan untuk Indonesia?

Namun sebagai manusia berpikir kita harus

menyadari bahwa segala sesuatu di Alam Raya ini

tunduk pada satu hukum yang mengatakan: Apa pun

yang naik pada satu saat akan turun; demikian

pula segala sesuatu yang turun satu saat akan

naik. Indonesia sekarang sedang turun dan satu

saat akan naik kembali. Memang belum jelas kapan

sesuatu akan berada pada titik terendah yang

tidak mungkin turun lagi. Akan tetapi satu saat

akan tiba titik terendah itu dan kemudian kita

akan naik kembali. Atas dasar pandangan ini

jelas masih ada masa depan untuk Indonesia.

Maka, buat kita yang ingin melihat Indonesia

naik kembali ada dua hal yang perlu

diperhatikan. Pertama, titik terendah dalam

gerak turun kita tidak terlalu lama lagi. Kedua,

gerak naik kita kemudian dapat terjadi dengan

sebaik mungkin serta menghasilkan kondisi bangsa

yang kita idam-idamkan.

Untuk hal pertama, harus kita jaga agar tidak

turut larut dalam gerak turun yang sedang

terjadi.

Pada dasarnya ini memerlukan sikap moral dan

intelektual yang cocok. Kemampuan untuk tidak

terbawa dalam cara berpikir yang partisan

sehingga senantiasa dapat mengejar obyektivitas

yang setinggi-tingginya. Dan bersikap moral yang

membebaskan diri dari aneka ragam kebobrokan

yang sedang melanda masyarakat Indonesia, baik

yang bersifat material maupun non-material.

Makin banyak orang Indonesia bersikap demikian,

makin cepat titik terendah akan tiba.

Sedangkan untuk hal kedua, kita harus mulai

menyiapkan pemikiran bagaimana mengatur

kehidupan bangsa kita untuk dapat bangkit

kembali nanti. Sekalipun sekarang berada dalam

kondisi bangsa yang serba bobrok, kita harus

mampu untuk berpikir jernih dan bersama

kawan-kawan yang berpandangan sama membuat

konsep untuk berbagai aspek kehidupan bangsa.

Buat penulis pribadi, yang penting adalah

bagaimana menjadikan Pancasila satu kenyataan

yang hidup. Sejak semula hampir semua pihak

mengakui bahwa Pancasila adalah satu pandangan

yang brilian untuk menjadi dasar negara. Akan

tetapi celakanya tidak pernah ada pemimpin

Indonesia yang menjadikannya satu kenyataan yang

hidup dalam masyarakat. Bahkan Bung Karno

sebagai pencetusnya telah meninggalkan Pancasila

ketika memegang pimpinan. Dan di rezim Soeharto

Pancasila telah sangat didiskreditkan.

Akibatnya adalah bahwa sekarang banyak orang,

terutama kaum muda, muak kalau mendengar

perkataan Pancasila. Namun apabila orang-orang

itu bersikap dan berpikir obyektif serta tetap

hendak memelihara eksistensi Negara Republik

Indonesia yang bersifat kesatuan, maka harus

mereka akui bahwa itu hanya dapat tercapai kalau

Pancasila menjadi kenyataan di Indonesia.

Apabila, umpamanya, digunakan sekularisme

sebagai dasar negara, sebagaimana sering kali

dikemukakan oleh mereka yang berhaluan Barat,

maka pasti banyak kalangan Islam menolaknya.

Sebaliknya, kalau umat Islam menginginkan Islam

sebagai dasar negara, maka besar kemungkinan

mereka yang beragama lain menolaknya dan

melepaskan daerahnya dari kesatuan Indonesia.

Hanya Pancasila yang memberikan tempat terhormat

bagi semuanya. Akan tetapi karena sekarang

Pancasila masih banyak ditolak sebagai akibat

salah urus dari kepemimpinan lama, maka

janganlah kepemimpinan baru menonjolkan

Pancasila terlalu cepat. Melainkan digunakan

sebagai metode kerja dan menjadikan Pancasila

terwujud secara nyata dalam masyarakat.

Yang penting adalah bahwa kepemimpinan baru

dapat merebut kepercayaan kuat dari masyarakat.

Dan merespons kepercayaan yang diterimanya

dengan memimpin negara secara adil dan

arif-bijaksana, sehingga masyarakat merasakan

kemajuannya Dengan begitu lambat laun akan

tumbuh kembali kepercayaan masyarakat kepada

Pancasila. Itulah yang menjamin gerak naik

bangsa Indonesia di masa depan yang menciptakan

keadilan, kemajuan dan kesejahteraan bagi

seluruh rakyat Indonesia.***

Sayidiman Suryohadiprodjo lahir di Bojonegoro,

21 September 1927. Menyelesaikan pendidikan di

Akademi Militer Yogyakarta tahun 1948 dan

memulai karir sebagai Danki 2 Yon 303 Divisi

Siliwangi (1949-1950). Pangkat terakhir adalah

Letjen dan kini menjadi anggota Badan

Pertimbangan Pendidikan Nasional. Penulis pernah

menjalani pendidikan di Fort Benning, AS, dan

Sesko di Hamburg, Jerman. Pria yang dijuluki

Kokumin noi Taishi (dubes rakyat) ketika menjadi

Dubes RI di Jepang ini, pernah menjadi Pangdam

XIV/Hasanudin, Deputi Kasad, Gubernur Lemhanas,

dan Penasihat Menristek. Selain menulis di

berbagai media, penulis menghasilkan beberapa

buku antara lain Mengabdi Negara Sebagai

Prajurit TNI, Kepemimpinan ABRI, Membangun

Peradaban Indonesia, Menghadapi Tantangan Masa

Depan, dan Pancasila, Islam dan ABRI.

Tanggapan-tanggapan atas tulisannya bisa

dikirimkan ke sayidiman@gmx.net.

Tidak ada komentar: