Kamis, 09 Agustus 2007

Sulitnya Memahami Penolakan

Sulitnya Memahami Penolakan

Sulitnya Memahami Penolakan

ADA dua hal yang dilanggar oleh pelaku saat melakukan kekerasan dan mengesahkan tindakan kekerasannya yakni penyalahgunaan kepercayaan dan persahabatan serta penyalahgunaan kekuasaan. Kedua hal itu sangat efektif membungkam korban dan membuatnya tak berdaya.

"Tiba-tiba X datang dari belakang, mencium tengkukku dan meremas payudaraku. Aku kaget, dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya terduduk di depan komputer tak bergerak. X pergi, sementara aku merasa jijik dan marah karena selama ini aku begitu percaya pada X, kawan seperjuangan dalam gerakan HAM."

Kesaksian ini diungkapkan seorang perempuan aktivis tentang kawan laki-lakinya sesama aktivis. Ketika dikonfrontir, pelaku mengatakan, "Saya tidak merasa melakukan kekerasan karena saya menciumnya dengan halus dan itu karena saya sayang pada dia. Saya merasa hal itu wajar saja. Apa yang salah dengan perbuatan saya?"

Dalam diskusi publik pada Kamis lalu yang dipandu oleh Sita Aripurnami, ada beberapa pertanyaan yang secara jelas menyiratkan ketidakpahaman masyarakat mengenai masalah ini. Seorang perempuan aktivis dari Makassar menceritakan temannya, laki-laki sesama aktivis baru tahu hal itu merupakan pelanggaran ketika diajak mengikuti seminar mengenai kekerasan terhadap perempuan.

Otoritas seorang tokoh yang dibangun dan diperkuat oleh struktur sosial telah memberikan kekuasaan pada laki-laki. Ketika tokoh itu melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan pekerja kemanusiaan, masyarakat tidak akan mempercayai perbuatan tersebut; sebaliknya, masyarakat justru menghukum korban. Tokoh itu menggunakan legitimasi ketokohan dan kepercayaan masyarakat untuk membungkam korban. Bahkan perempuan yang menjadi korban dipersalahkan sebagai penggoda dan kemudian dikorbankan.

***

MASALAH consent (persetujuan, izin) merupakan hal yang kontroversial. Bertolak dari pandangan Sigmund Freud (1924) bahwa ideologi laki-laki mengenai perkosaan bertolak dari dogma bahwa perempuan secara alamiah suka disakiti (masochistik) karena "gairah akan kesakitan" itu, maka banyak orang setuju dengan pendapat Camille Paglia (1992).

Paglia mengatakan, "Mustahil Anda tidak tahu kalau 'tidak' tidak selalu berarti 'tidak'. 'Tidak' bisa berarti 'ya' atau 'tidak, tetapi jangan berhenti.'"

Maka, dalam persoalan perkosaan, khususnya yang terjadi saat kencan (date rape), pengikut Paglia akan mengatakan, "Seorang perempuan harus bertanggung jawab atas seksualitasnya. Dia harus hati-hati ke mana dan dengan siapa ia pergi. Kalau ia berbuat salah maka ia harus menanggung sendiri akibatnya."

Sementara prinsip-prinsip feminisme menyatakan, "tidak" harus diartikan sebagai "tidak". Seorang perempuan yang menolak melakukan "hubungan yang lebih jauh" dalam kencan harus diartikan bahwa ia sungguh-sungguh menolak, bukan "pura-pura" menolak karena ia suka disakiti. "Tidak" dalam masalah ini merupakan hak perempuan atas otonomi tubuhnya dan hak itu harus dihormati.

Reaksi yang bukan menangis, menolak, atau berteriak, langsung dianggap sebagai "persetujuan" pada akhirnya, sehingga sulit bagi laki-laki untuk memahami bahwa korban benar-benar menderita atas perlakuan tersebut. Di sini ada kesenjangan jender dalam komunikasi antara perempuan-laki-laki, namun dalam kerangka pikir patriarkhis (dan Freudian) pendapat laki-laki-lah yang dianggap benar.

Persoalan ini tampaknya "hanya sepotong", tetapi amat sangat prinsipil, khususnya dalam perjuangan menegakkan martabat manusia beserta seluruh haknya. (nmp/mh)

Tidak ada komentar: