Kamis, 16 Agustus 2007

Pestanya Sudah Selesai
Sudah lama saya merenungkan mengapa Bangsa Indonesia yang dikenal taat beragama ini sekaligus juga dikenal sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Ada beberapa alasan yang sering saya kemukakan di banyak kesempatan, antara lain pada pemahaman agama yang salah. Agama sering dipahami sebagai semata-mata urusan ibadah kepada Tuhan. Agama juga dianggap lebih berkaitan dengan sesuatu di masa depan (akhirat), bukannya di masa kini. Selain itu agama juga sering dipahami sebagai sebuah kewajiban, bukannya sebagai sebuah kebutuhan, cara hidup, dan cara berpikir.
Namun, saat menikmati liburan Idul Fitri minggu yang lalu, saya menemukan sebuah perenungan yang menarik. Menurut saya, salah satu kelemahan utama bangsa kita adalah karena kita sering kali gagal menangkap makna dari apa pun yang kita lakukan.
Padahal kemampuan menangkap makna ini amatlah penting. Victor Frankl dalam bukunya Man's Search for Meaning mengatakan bahwa hanya dengan menemukan makna lah seseorang mampu menghadapi apa pun yang ia alami dalam hidup. Kemampuan menemukan makna inilah yang disebut oleh Danah Zohar dan Ian Marshal sebagai kecerdasan spiritual (SQ) seseorang.
Tanpa kemampuan menemukan makna, segala tindakan kita hanya lah akan menjadi sesuatu yang teknis, ritual, dan administratif. Banyak orang yang shalat, mengaji, dan berpuasa tapi tak memahami maknanya. Semua dilakukan secara otomatis, tanpa pemikiran, apalagi kesadaran. Kebiasaan membuat kita merasa tak nyaman kalau belum melakukannya. Kita baru merasa nyaman setelah shalat karena kewajiban kita sudah tertunaikan. Kita sebenarnya tak jauh berbeda dengan robot.
Ambilah kasus Lebaran sebagai contoh. Bagaimana kita memaknai Lebaran? Di Indonesia Lebaran ini bisa dianalogikan sebagai sebuah 'pesta'. Kita merasa bebas dari 'ujian berat' selama sebulan penuh. Kita saling mengunjungi dan 'memohon maaf' kepada setiap orang yang kita jumpai. Kita juga merayakan 'kemenangan' kita dengan 'kekalahan', antara lain dengan makan terlalu banyak. Maka tak heran kalau pada masa Lebaran banyak dokter yang kelimpahan pasien dengan keluhan sakit perut, diare, maupun sembelit.
Pemaknaan seperti ini amat bermasalah. Puasa adalah pelatihan bukan ujian. Bahkan, setelah mengikuti banyak program pelatihan di berbagai penjuru dunia, saya berani mengatakan bahwa puasa ini lah pelatihan yang paling efektif dan paling komprehensif.
Dengan puasa kita melatih kekuatan pikiran untuk melampaui kekuatan fisik. Dengan puasa kita melakukan mind management untuk selalu menyaring 'makanan' yang masuk ke dalam pikiran. Dengan puasa kita mampu mengalahkan musuh terbesar yaitu diri kita sendiri. Puasa juga merupakan satu-satunya sarana paling efektif untuk melatih integritas dan kejujuran. Masih banyak lagi makna puasa yang tak bisa dijelaskan secara rinci di sini.
Sekali lagi, kata kunci puasa adalah pelatihan, bukannya ujian. Ini berkaitan dengan sikap mental. Bayangkan kalau kita menghadapi ujian. Apa yang akan kita lakukan setelah selesai ujian? Bersenang-senang bukan. Apakah kita masih perlu mempelajari bahan yang diujikan tadi? Tentu saja tidak. Maka tak aneh, selama puasa masih dianggap sebagai ujian, selama itu pula perilaku kita tidak berubah. Kita hanya 'baik' di bulan puasa. Selebihnya adalah business as usual.
Ini berbeda dengan pelatihan. Sebuah pelatihan adalah investasi. Puasa adalah investasi karena merupakan 'modal' untuk hidup 11 bulan ke depan. Sebuah pagelaran seni membutuhkan latihan yang sungguh-sungguh. Lantas, darimana kita menilai kesuksesan pagelaran seni tersebut? Tentu saja dari pementasannya, bukan dari latihannya. Puasa juga baru bisa dikatakan berhasil dari 'pementasan' kita setelah kita selesai berpuasa.
Tradisi bersilaturahmi juga merupakan hal yang baik dan sangat dianjurkan agama. Tapi, memaknai Idul Fitri dengan hal ini adalah salah kaprah. Begitu juga dengan ungkapan khas kita, 'Mohon maaf lahir dan batin' yang sering kali lebih bersifat basa-basi dan terlontar begitu saja dari mulut kita secara otomatis. Ini tentu saja jauh dari makna memaafkan yang sebenarnya. Begitu pula dengan tradisi mudik Lebaran. Tradisi ini sering hanya bermakna silaturahmi dan kegembiraan. Padahal, mudik memiliki makna yang amat dalam. Mudik sebenarnya mencerminkan kerinduan manusia yang luar biasa pada asal muasalnya, pada tanah kelahirannya. Dan, karena asal muasal kita yang hakiki adalah Tuhan, maka mudik ini sebenarnya hanya lah sebuah bentuk kecil dari kerinduan kita yang luar biasa kepada Tuhan. Dan pada gilirannya nanti, kita pun akan melakukan 'mudik' yang abadi ke hadirat Ilahi.
Jadi, di sini lah letak masalahnya. Selama kita tidak memiliki kemampuan untuk menemukan makna yang benar dari apa yang kita lakukan, selama itu pula pertumbuhan dan perkembangan kita sebagai manusia paripurna akan terus mengalami hambatan.

Tidak ada komentar: