Kamis, 09 Agustus 2007

Senjakalanya Budaya Baca?

Senjakalanya Budaya Baca?

KOMPAS, Jumat, 4 Mei 2001


SUDAH bulan Mei lagi. Orang tahu bahwa di bulan Mei ini ada Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Tetapi, amat sedikit yang tahu bahwa bulan Mei adalah Bulan Buku Nasional, yang mulanya dicanangkan oleh Pak Harto, mantan Presiden yang kini merana itu, pada 1995. Tahun-tahun berikutnya tak banyak yang terjadi, dan Bulan Buku Nasional ini tak lebih seperti minyak angin yang hangat sebentar lalu hilang cepat.

Perhatian kita-pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga, dan lain-lain-pada perkembangan perbukuan, apa boleh buat, memang tidak memadai. Padahal, semua tahu, buku merupakan salah satu kendaraan utama proses pencerdasan bangsa. Dan bangsa yang tidak cerdas bisa dipastikan akan dilindas mesin giling kemajuan.

Minat baca atau daya beli?

Dari segala perdebatan mengenai lembeknya dunia perbukuan di negeri ini, ada dua tema besar yang senantiasa muncul, yaitu daya beli masyarakat dan minat baca masyarakat. Ada yang cenderung menganggap karena daya beli yang rendahlah yang menyebabkan kurang bergairahnya dunia perbukuan. Alasannya, kalau kita lihat, begitu bejubelnya pengunjung toko buku, anak-anak antusias berselonjor di lorong-lorong toko buku untuk membaca, berbondong-bondongnya orang pergi pameran buku terutama untuk mengejar buku-buku yang sedang didiskon oleh penerbitnya. Konon juga penduduk-penduduk desa begitu bergairah-baik anak-anak maupun dewasa-menyambut dibukanya perpustakaan-perpustakaan desa atau perpustakaan-perpustakaan keliling. Sayangnya biasanya kegairahan penduduk desa ini makin lama makin pudar, bukan karena mereka malas membaca tetapi karena buku baru untuk perpustakaan-perpustakaan itu seret datang, tak sesuai dengan animo yang ada. Ditambah lagi, banyak kasus di mana malah anggota perpustakaan desa sukar meminjam buku, karena aparat pemerintah desa khawatir buku yang ada menjadi rusak. Khawatir nanti-nanti kalau ditinjau oleh atasan ternyata buku-buku sudah kumal karena terlalu sering dipinjam, dan dianggap tidak mampu merawat harta negara.

Sebaliknya, ada yang cenderung menunjuk minat baca sebagai penyebab utama. Karena, jika buku mahal, bukankah setiap orang-tentu saja yang memiliki minat baca yang tinggi-bisa pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku. Bukankah dengan pergi ke perpustakaan orang bisa meminjam buku dengan murah? Tetapi, Pimpinan Perpustakaan Nasional, Hernandono, mengatakan cuma satu persen penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan. Tentu saja harus diakui bahwa kondisi umum perpustakaan pun terseok-seok. Berdasarkan catatan Perpusnas, keberadaan perpustakaan khusus di sekolah-sekolah dan perpustakaan umum di desa dan kecamatan masih sangat terbatas.

Simak catatan berikut. Dari sekitar 200.000 SD, diperkirakan cuma satu persen yang memiliki perpustakaan standar. Sedang dari sekitar 70.000 unit SLTP, cuma 36 persen memenuhi standar. Dan dari sekitar 14.000 unit SMU, cuma 54 persen yang punya perpustakaan standar. Untuk perguruan tinggi, dari sekitar 4.000 perguruan tinggi hanya 60 persen yang memenuhi standar. Yang menyedihkan lagi adalah perpustakaan umum di daerah-daerah. Untuk tingkat desa dan kecamatan (diperkirakan ada 70.000 desa dan 9.000 kecamatan di Indonesia), tak lebih dari setengah persen yang memiliki perpustakaan standar. Sedang untuk Daerah Tingkat II, ada 70 persen dari sekitar 316 Daerah Tingkat II (Republika, 21 Mei 2000). Baiklah, memang kondisi perpustakaan Indonesia secara umum compang-camping, tetapi mengapa bahkan untuk perpustakaan yang bagus dan lengkap pengujungnya juga tetap seret?

Lalu, begitu argumen pendukung minat baca sebagai penyebab, perhatikan statistik yang diolah dari data yang dikeluarkan Unesco pada 1993. Statistik mencatat 84 persen penduduk Indonesia sudah melek huruf, jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma 69 persen? Tetapi, kenapa di Indonesia hanya ada 12 judul baru setahun untuk setiap sejuta penduduk (rata-rata negara berkembang 55 judul, dan negara maju 513 judul baru setahun untuk setiap sejuta penduduk)? Juga kenapa jumlah tiras surat kabar hanya 2,8 persen dari penduduk Indonesia, sedang standard Unesco 10 persen (negara maju di atas 30 persen)? Dengan demikian bisa dilihat bahwa kemelekhurufan masyarakat Indonesia belum fungsional, yaitu tidak digunakan untuk menyerap dan memproduksi kembali informasi tertulis.

Katakan kita tidak usah menghitung seluruh penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa, tetapi sekitar 10 persen saja, atau sekitar 22 juta, yang bisa dikategorikan memiliki penghasilan cukup dan tinggal di perkotaan. Andaikan mereka membelanjakan uang sebesar 20.000 rupiah sebulan (yang kurang lebih sama dengan makan di restoran fastfood), yang dengan uang sejumlah itu bisa membeli buku setebal kurang lebih 200 halaman atau 3-4 buku untuk anak-anak, bukankah volume industri buku sebesar 440 milyar rupiah sebulan, atau 5,28 trilyun rupiah setahun? Yang dimaksud buku di sini tentu saja bukan buku pelajaran yang memang sudah wajib dibeli, tetapi buku non-pelajaran yang bisa menjadi indikator kegemaran membaca. Angka itu pun di luar proyek-proyek pembelian buku yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan. Sayangnya, kini belum ada data yang memadai tentang volume industri buku di Indonesia. Tetapi sebagai praktisi dalam bisnis penerbitan saya bisa memperkirakan angkanya akan jauh di bawah 5,28 trilyun itu. Jika volume industri buku sebesar "angka idaman" itu, bisa dipastikan industri penerbitan buku akan jauh lebih besar dari sekarang.

Kelisanan sekunder

Marilah kita mulai bagian ini dengan sebuah cerita. Suatu hari 23 abad lalu, di samping tembok Athena, dan di bawah kerindangan pohon tinggi-besar di samping sungai, Socrates menceritakan sebuah kisah pada Phaedrus, seorang anak muda yang penuh semangat. Alkisah, begitu kisah Socrates pada Phaedrus, Dewa Thoth dari Mesir mengunjungi Raja Mesir. Thoth menawarkan Raja Mesir beberapa penemuannya untuk diberikan kepada rakyat Mesir. Temuan itu adalah angka, dadu, geometri, astronomi, dan tulisan.

Sang Raja dan Thoth, begitu cerita Alberto Manguel dalam A History of Reading (1996), menimbang manfaat dan mudharat masing-masing temuan itu. Ketika sampai pada tulisan, Thoth berkata, "Ini adalah cabang pengetahuan yang akan meningkatkan daya ingat rakyatmu. Selain itu akan pula meningkatkan kebijaksanaan."Tetapi Sang Raja tidak tertarik. "Jika rakyatku belajar tulisan, itu akan menumbuhkan daya lupa pada jiwa mereka. Mereka akan berhenti belajar mengingat-ingat karena akan bergantung pada apa yang tertulis," kata Raja itu. Tambahnya lagi, "Dan bukanlah kebijaksanaan sejati yang kau tawarkan pada murid-murid, tetapi hanyalah kebijaksanaan semu. Mereka akan merasa tahu banyak, padahal tak tahu sama sekali. Dan sekali seseorang tenggelam dalam kecongkakan kebijaksanaan, dia akan menjadi beban orang lain."

Karena itu, kata Socrates pada Phaedrus, seorang pembaca berpikir sederhana karena mempercayai bahwa kata-kata tertulis dapat berfungsi lebih dari sekadar mengingatkan sesuatu yang ia sudah ketahui. "Kau tahu, Phaedrus," tambah Socrates, "itulah yang paling aneh dari tulisan, yang bisa dibandingkan dengan lukisan. Sebuah lukisan di depan kita akan seolah-olah hidup, tetapi jika kau 'tanyai' ia akan diam saja. Begitu juga kata-kata tertulis; mereka sepertinya bicara seolah cerdas. Tetapi jika kau tanyai tentang yang mereka katakan, karena kau ingin tahu lebih banyak, mereka hanya akan mengulang-ulang hal yang sama."

Socrates, lebih jauh lagi, tak menyukai pikiran-pikirannya dipercayakan kepada kulit sapi yang mati (sarana untuk menulis saat itu), bukan kepada hati manusia yang hidup. Plato juga tak kalah sengit. "Menulis akan membuat orang percaya pada tanda-tanda tertulis eksternal, dan tidak akan mengingatnya," katanya. "Mereka akan menjadi pendengar, tetapi tak akan bisa memperoleh pengetahuan," tambah Plato lagi.

Socrates dan Plato, tentu saja, hidup pada zaman ketika tulisan masih belum berkembang. Dan karenanya pengetahuan yang disimpan dalam ingatan sangat dihargai, penyampaian ingatan ini turun-temurun pun dilakukan dengan lisan. Peradaban Islam pun, misalnya, sangat menghargai hafalan. Para imam mahzab dan ulama besar bahkan penghafal Al Quran ketika masih belia. Akan tetapi, di samping semua penghormatan terhadap hafalan itu, seperti kata Franz Rosenthal, seorang orientalis terkemuka, dalam buku Etika Kesarjanaan Muslim, Dari Al-Farabi hingga Ibn Khaldun (1996), peradaban Islam adalah peradaban tulis. Penerjemahan besar-besaran dari karya-karya, terutama, berbahasa Yunani serta perpustakaan-perpustakaan menyangga peradaban Islam.

Seperti yang juga telah dengan amat baik diuraikan oleh Taufik Abdullah dalam sebuah makalahnya-berjudul Dari Tradisi Lisan ke Leserevolution dan Kembali?-saluran utama dari tradisi budaya lokal kita adalah lisan atau orality, bukannya "kata yang tertulis". Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi atau perbendaharaan kultural apa pun ditransmisikan, baik antargenerasi maupun antarsektor-sektor dilakukan secara lisan. Jika transmisi antargenerasi mejamin kesinambungan kultural, maka penyampaian antarsektor akan memperkuat ikatan kultural. Bentuknya bisa bermacam-macam, apakah itu pantun, syair, seloka, cerita-cerita dan lain-lain. Itulah ketika tradisi, dalam istilah Taufik Abdullah, "membaca yang dibacakan"-karena bentuk-bentuk itu disampaikan oleh sesorang yang memiliki posisi yang kadang-kadang khusus dalam masyarakat. Ignas Kleden, dalam buku berjudul Buku dalam Indonesia Baru yang diedit Alfons Taryadi (1999), mengutip Daniel Lerner, menyebut budaya ini kelisanan primer (primary orality), yaitu tradisi kelisanan tatkala masyarakat memang belum memiliki kemampuan baca tulis.

Proses tersebut sudah berlangsung berabad-abad, ketika kemudian budaya cetak mulai diperkenalkan di Indonesia pada awal abad ke-20. Karena keterlambatan budaya-cetak ini, demikian Taufik Abdullah, tentu tidak sulit membayangkan betapa kuatnya peranan "ingatan" dan "kelas pembaca". Oleh karena itu, dibandingkan dengan, terutama, Eropa, budaya cetak kita masihlah sangat muda. Dengan tumbuhnya budaya cetak ini, maka mulailah budaya "membaca yang membaca".

Meskipun budaya baru ini, waktu itu, terbatas pada kaum pelajar yang kecil jumlahnya, namun merekalah yang kemudian merintis pergerakan sosial menuju ke pembentukan bangsa yang baru. Berbagai pergerakan modern, baik dalam keagamaan maupun kemasyarakatan, tulis Taufik Abdullah, tak akan bisa dipahami tanpa menyadari peranan yang dimainkan oleh "revolusi baca" ini. Selain itu, budaya cetak dengan komoditinya yang berupa teks serta pasar-pembaca mulai membentuk gaya hidup yang berbeda dengan tradisi sebelumnya, antara lain tumbuhnya corak kosmopolitan kultural yang baru dan timbulnya kesadaran perbandingan dengan dunia luar.

Belum lagi berkembang penuh dan merasuk budaya baca ini, sudah datang pula teknologi informasi baru yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini yang paling mutakhir adalah Internet. Inilah yang mendorong lahirnya, dalam istilah Taufik Abdullah, corak baru tradisi lisan (new kind of orality), atau, dalam istilah Ignas Kleden, kelisanan sekunder (secondary orality). Dalam tradisi baru lisan atau kelisanan sekunder ini kemampuan baca dan tulis tidak begitu dibutuhkan lagi, karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami lompatan dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder, dengan melangkahi budaya baca-tulis. Karena corak lama tradisi lisan belum terkikis benar oleh budaya baca-tulis, maka tawaran corak baru tradisi lisan yang disuguhkan media informasi elektronik, utamanya televisi, jauh lebih "merangsang" dan memiliki daya tarik yang lebih kuat. Di lain pihak, negara-negara Barat memiliki rentang sejarah dan waktu yang cukup untuk menghunjamnya budaya baca-tulis ini. Dengan demikian, tentu saja sama sekali tidak mudah mengampanyekan pentingnya budaya baca-tulis ini di tengah gemuruh arus deras kelisanan sekunder ini.

Meskipun begitu sulit, upaya tentu senantiasa harus dilakukan. Karena bukankah sungguh musykil membayangkan apa jadinya jika dunia ini budaya aksara? Akumulasi pengetahuan akan mustahil tanpa rekaman-rekaman tertulis pengetahuan sebelumnya. Tetapi karena begitu lazimnya penggunaan alfabet, misalnya, sampai-sampai kita lupa betapa hebatnya penemuan manusia yang satu ini. Kita lupa bahwa diperlukan ribuan tahun-sejak diciptakan oleh orang Phoenecia sekitar 1050 SM-agar alfabet Latin yang hanya 26 huruf itu begitu luas digunakan di seluruh dunia. Dari 10.000 bahasa di dunia, menurut Joel Swerelow dalam artikel The Power of Writing (majalah National Geographic, Agustus 1999), sebagian besar tak memiliki aksara sendiri dan kini menggunakan alfabet Latin. Sejak penemuan tulisan, tulis Swerelow, selain untuk merekam dan mentransimisikan pengetahuan, manusia telah memanfaatkannya juga sebagai sarana luapan emosi. Aristoteles, berbeda dengan Socrates dan Plato, pernah berkata bahwa tulisan adalah satu cara untuk mengekspresikan "kasih sayang jiwa".

Senjakalanya Budaya Baca?

Jika penemuan huruf dilalui dengan keberatan-keberatan begitu juga budaya cetak. Begitu merasuknya budaya cetak berabad-abad membuat kita lupa bahwa sebelumnya perkembangan ini pun, pada mulanya, ditentang oleh sebagian orang. James J. O'Donnell dalam bukunya, Avatars of the World, From Papyrus to Cyberspace (1998), mengisahkan dengan baik tentang hal ini. Dengan makin membanjirnya buku lantaran berkembangnya mesin cetak, begitu cerita O'Donnel tentang para pengkritik budaya cetak itu, tak pelak lagi akan membanjir pula kesalahan-kesalahan (cetak). Karena itu Nicccolo Perotti, misalnya, menulis surat kepada Sri Pausagar diadakan sensor buku cetak pra-terbit. Ini dilakukannya setelah sebuah buku penting karya de Bussi, yang belakangan menjadi pustakawan Perpustakaan Vatikan, dicetak serampangan di Roma.

Jean Gerson, Rektor University of Paris, pada 1439 pun mengeluhkan bibit-bibit kesalahan. Begitu terjadi sebuah kesalahan, maka kesalahan itu akan "konsisten" dan seragam di setiap buku yang dicetak. Dengan demikian, orang tidak bisa membandingkan dan mengkoreksi satu kopi buku dengan merujuk kepada kopi yang lain. Itu tidak terjadi, setidaknya menurut Jean Gerson, pada manuskrip tulisan tangan yang dibikin satu demi satu.

Akan tetapi kritikus yang paling terkenal adalah Johannes Trithemius, seorang kepala biara dari Orde Benediktan, yang menulis buku (dan dicetak!) berjudul De Laude Scriptorum (kira-kira artinya Memuji para Ahli Menulis) pada 1492. Kritik utama Trithemius, menurut O'Donnell, berangkat dari keprihatinan bakal terancamnya tradisi biara dan pusat penulisannya. Meski dalam praktik Trithemius menyetujui dan menggunakan buku cetak, tetapi dia gagal memahami bagaimana menyatukannya dengan kehidupan biara. Padahal, tradisi menulis manuskrip sudah begitu merasuk dalam struktur sosial dan ekonomi komunitas biara. Biarawan yang tak begitu pandai dan bagus dalam menulis bisa bekerja menjadi penjilid, pembuat pena, dan pekerjaan-pekerjaan sejenis.

Menulis dan menyalin adalah kerja jiwa yang par excellence. "Tak ada kerja aktif yang lebih baik bagi biarawan caritas mendorongnya tetap berjaga semalaman menyalin naskah-naskah Ilahi," tulis Trithemius. "Biarawan yang mencurahkan waktunya untuk menulis akan mendapat empat manfaat: pemanfaatan waktu yang begitu berharga; pemahamannya menjadi tercerahkan bersamaan dengan penulisan; dalam jiwanya berkobar pengabdian; dan pahala yang akan diterimanya setelah kematian," tambah Trithemius lagi. Dia kemudian bercerita tentang seorang Benediktan yang mencurahkan waktunya untuk menyalin naskah sebelum meninggal. Bertahun-tahun setelah dikubur, secara ajaib tiga jarinya yang sering dipakai untuk menulis tidaklah membusuk seperti bagian badan yang lain.

Kini, setelah budaya cetak menjadi urat nadi umat manusia, maka budaya elektronik pun disambut dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Dan jarang orang yang sefasih Sven Birkerts dalam menuliskan kegalauan hati pecinta buku sejati yang tak berdaya menahan "serbuan elektronis". Karenanya ia lantas menulis elegi, sebuah lagu sedih, murung, tentang masa depan membaca, dalam buku The Gutenberg Elegies, The Fate of Reading in an Electronic Age (1994). Sebuah elegi akan berlalunya era Gutenberg, era dunia cetak-tulis-baca.

Tatanan kedua teritori-teritori Gutenberg vis a vis teritori elektronik-dalam banyak hal saling bertolak belakang. Teritori Gutenberg bersifat linear, dan terikat oleh logika lantaran keimperatifan sintaksis. Sintaksis adalah substruktur wacana, memetakan jalan pikiran melewati bahasa. Di dalamnya, pembaca bersifat aktif, karena membaca sebenarnya adalah tindakan "penerjemahan", di mana simbol-simbol dirujukkan ke bunyi verbalnya dan kemudian ditafsirkan. Ikatan pembaca dan teks bersifat sangat privat, di mana isi dan makna tersampaikan dari privasi pengirim ke privasi pembaca. Proses membaca juga bersumbu pada waktu: Membalik-balik halaman, menelusuri teks dari bawah ke atas, dilakukan secara berurutan, di mana isi yang lebih awal menjadi landasan untuk isi berikutnya. Bahan bacaan bersifat statis-adalah pembaca, bukan yang dibaca, yang mengendalikan kecepatan membacanya.

Sedangkan tatanan teritori elektronik, seperti disebutkan tadi, bertolak belakang. Impresi dan imaji sudah dikemas, sudah ditafsirkan oleh "produser", dan tinggal disodorkan dan dikunyah oleh penikmat. "Pembaca" bersifat pasif-bisa bengong di depan televisi atau mendengar sandiwara radio-menanti apa yang disampaikan. Laju "pembacaan" tidak ditentukan oleh "pembaca", tetapi oleh media yang "dibaca"-dan biasanya tingkat kelajuannya tinggi, dengan tingkat yang ekstrem seperti video klip ala MTV. Karena yang penting impresi dan imaji, maka sekuensialitas dan logika terpinggirkan. Kesementaraan dan kesegeraaan-sebaliknya dari "keabadian" yang inheren dalam buku, misalnya-menjadi ciri tak terpisahkan.

Jika, di masa depan, peradaban manusia sepenuhnya terserap dalam pada teritori all-electronic, apa yang akan terjadi? Birkerts menyodorkan tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, erosi bahasa. Tak diragukan lagi bahwa transisi dari budaya cetak ke budaya elektronik mengubah, secara radikal, cara manusia menggunakan bahasa. Kompleksitas ekspresi tertulis dan lisan, yang terikat erat dengan tradisi cetak, akan tergantikan oleh, dalam istilah Bikerts, a more telegraphic sort of "plainspeak". Bahasa menjadi lebih sederhana, sedangkan ambigu, paradok, ironi, kesubtilan bahasa menjadi musnah. Imaji dan impresi visuallah yang mendominasi, dan karena itu peran bahasa menjadi berkurang.

Kedua, mendangkalnya perspektif kesejarahan. Berubahnya cara kita menyampaikan dan menyimpan informasi berhubungan dengan ingatan sejarah kita. Rasa ikatan dengan masa lalu bahkan bisa diwakili oleh buku dan akumulasi, secara fisik, buku di rak-rak perpustakaan. Dengan melihat buku di perpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan umum, kita membentuk gambaran berlalunya waktu seiring dengan bertambahnya buku di perpustakaan itu. Tetapi kesegeraan dan kesementaraan akan menggantikan itu.

Ketiga, lunturnya diri yang privat. Proses membaca adalah proses yang privat, ruang hening di mana pembaca memperoleh suaka dari hiruk-pikuk dunia sekelilingnya. Kendali pembacaan-waktu, imaji, impresi-sepenuhnya di tangan pembaca, sebaliknya dari tatanan elektronik ketika "pembaca" menyerahkan kendali itu kepada media. Ruang pribadi makin menyempit, kata Birkerts, seiring meluasnya wilayah elektronik.

Dari ketiga hal tersebut, tampaknya lunturnya ruang privat adalah yang paling dicemaskan oleh Birkerts. Dan ia betul dalam hal ini. Dalam perspektif lain, privasi adalah milik manusia yang terancam dalam era cyberspace ini. Jika zaman industri menghasilkan efek samping berupa limbah dan polusi, maka era informasi ini berefek samping terancamnya privasi. Tidak hanya dalam artian filosofis seperti yang dicemaskan Birkerts, tetapi juga "praktis" seperti cerita dalam novel Nineteen Eighty Four karya Orwell yang terkenal itu. Tetapi si Big Brother bukanlah harus seorang penguasa tiran, tetapi juga bisa seorang industrialis tamak yang mengais-ngais jejak elektronik yang kita tinggalkan ketika, misalnya, mengambil uang di ATM, membayar kartu kredit, atau berkelana di mayantara.

Kita tak mungkin, kata Birkerts, menghentikan laju itu. Tetapi, setidaknya, kita awas dan menyadari efek-efek samping itu dan menghindarinya sejauh mungkin. Itu pula yang disadari oleh Nicholas Negroponte-seorang pendukung kemajuan teknologi, profesor Teknologi Media di Massachussets Institute of Technology, dan pelopor penyatuan media surat kabar, televisi, hiburan dan komputer -ketika menulis buku Being Digital (1998), dan tidak menjadikan bukunya dalam bentuk multimedia. Multimedia interaktif, katanya, hanya memberi ruang sempit bagi imajinasi. Seperti film-film Hollywood watak naratif multimedia memberi gambaran kurang imajinatif. Sedangkan tulisan mampu menimbulkan imaji-imaji dan membangkitkan metafor-metafor yang mengandung banyak arti bagi imajinasi dan pengalaman membaca. Ketika kita mebaca sebuah novel, muncul berbagai warna, suara, dan gerak yang datang dari dalam kita sendiri. Saya pikir, lanjut Negroponte, pengalaman seperti itulah yang diperlukan untuk merasakan apa arti "menjadi digital" (being digital) dalam kehidupan Anda.

Penutup

Karlina Leksono (dalam Buku dalam Indonesia Baru, Alfons Taryadi, ed., 1999) pernah mengatakan bahwa proses membaca dan menulis sejatinya mendorong pengayaan eksistensial manusia-keduanya adalah pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya, tulisnya lagi, merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan yang di negeri ini seperti terbungkamkan selama tiga dasawarsa. Sayangnya, meski sadar begitu penting membaca (dan, tentu saja, menulis) bagi masa depan bangsa ini, kita belum banyak berbuat untuk mendorongnya.

Kini sudah bulan Mei lagi, dan itu berarti Bulan Buku Nasional lagi. Tetapi kita masih saja belum juga beringsut jauh, dari Mei ke Mei, dari tahun ke tahun. Berbeda dengan negara-negara maju yang, seperti dikeluhkan Birkerts, akan mengalami senjakala budaya baca setelah mengalami "fajar dan hari terang" budaya baca, akankah kita-di negeri ini-mengalami senjakala itu bahkan tanpa sebelumnya menikmati "fajarnya" budaya baca sekali pun?

Putut Widjanarko Direktur Pelaksana Penerbit Mizan

• Lembaga Kajian Islam dan Sosial - Yogyakarta 2001

Tidak ada komentar: